Jiwa yang Menolak Terbakar
“Kesel banget! Aku bakal benci dia selamanya,” batinku saat itu.
Sejam kemudian, aku dan abangku kembali haha-hihi seolah perasaan itu tak pernah lewat di hatiku.
Dendam dan dengki, kita yang menanam, kita yang merawatnya tetap tumbuh. Jika kita menjaga mereka tetap singgah, kemungkinan besar jiwa kita dilalap habis-habisan hingga cahaya kesulitan menyapa kita.
Pernah kudengar orang bilang, “Adakalanya kita membenci, adakalanya kita merasa amat berhasrat pada apa yang tidak bisa kita punya.” Seolah keduanya lumrah bagi jiwa kita yang semestinya subur dengan bunga-bunga cerah dan wewangian langit.
”Kita terlahir sebagai manusia, bukan malaikat,” sambungnya, membuatku berpikir keras.
Tapi seorang filsuf bilang, kita terlahir dengan sifat-sifat malaikat kedewasaanlah yang merenggutnya. Apa ia?
Sepertinya akan lebih mudah jika kita memulai dengan kenyataan bahwa terlahir menjadi manusia berarti memiliki sifat pelupa. Lebih meyakinkan dibanding argumen bahwa benci dan iri adalah sifat manusiawi, karena bila keduanya menempel dengan jati diri kita, dendam dan dengki akan tumbuh membakar inangnya. Tak terbayang di benakku bahwa diantara kita semua, kita memiliki kesamaan, ‘pribadi yang muram, gelap karena asap dari jiwa yang terbakar.’
Apa aku pernah mendendam dan mendengki? Jika kamu bertanya begitu, maaf, aku akan tertawa. Karena di dalam diriku tak secerah yang kamu sempat bayangkan. Tapi jika kamu tak bertanya karena merasa di penjuru-penjuru dunia manusia pasti pernah mendendam dan mendengki, aku rasa ide bagus jika kita melanjutkan obrolan ini.
Aku--dan mungkin kita--kemudian bertanya, “Apa aku terlahir untuk mendendam dan mendengki?” Maka, mari kita coba mengingat. Karena rasanya kita mungkin terlupa.
Mungkin kita bisa ingat pertengkaran-pertengkaran kita di masa kecil. Kita mungkin ingat, kesulitan-kesulitan kita dahulu, yang mungkin disebabkan dari keusilan orang atau bahkan disebabkan dari ‘ketidakmujuran’ kita. Ya! Aku ingat hal-hal itu.
Tetapi dibalik semuanya, aku juga ingat betul, bahwa penyakit itu tak pernah tinggal lama. Aku ingat ketika aku membatin, “Demi apa! Kesel banget! Aku bakal benci dia selamanya.” Tapi sejam kemudian, aku dan abangku kembali haha-hihi seolah perasaan itu tak pernah lewat di hatiku.
Aku juga ingat, aku pernah begitu iri lantaran menginginkan ransel bergambar karakter yang bisa didorong seperti milik temanku. Tapi kenyataannya, seluruh jiwa ragaku dengan jujur mengatakan ranselku sangat nyaman dan tak bermasalah, sesuai gayaku, dan barang berhargaku. Akupun kembali bahagia seakan aku tak pernah merasa berkekurangan.
Oleh karena itu, kawanku, aku mengajakmu untuk merenung soal apa yang kulihat dari ingatanku ini. Bahwa jiwa kita terlahir sehat, penuh gembira, selalu cerah dan bercahaya. Jati diri kita sebagai manusia tak betah dengan dengan rasa benci, sehingga selalu menolaknya tumbuh menjadi dendam. Dia tak betah pula dengan ketidakpuasan, yang melahirkan iri dan menumbuhkan dengki. Dia akan memilih menerima, puas, dan bahagian dengan apa yang dia dapatkan, dengan apa yang dia jalani.
Namun, ditengah cerita kita untuk menjadi ‘manusia seutuhnya’ dalam proses humanisasi yang setengah matang ini, kulihat ada yang berubah. Sama seperti saat kita kehilangan penglihatan yang menakjubkan saat dihempas badut kenyataan. Kita kehilangan cara pandang jiwa kita yang orisinil. Jiwakita dipaksa belajar untuk mengiyakan rasa benci, dan membiarkan rasa iri.
Saat ini, jiwa kita telah terpenjara jauh di balik jeruji keangkuhan, kesombongan, kebencian, dan kedengkian. Dan mungkin kita sama-sama menyadari, bahwa kita adalah jiwa-jiwa hangus yang kehilangan arah. Maka dari itu, kawanku, mari kita belajar untuk mengembalikan kesucian jiwa itu. Mari kita mulai rontokan satu persatu jeruji yang mengungkungnya agar habis dilalap api, menghalanginya tersentuh cahaya.
Aku tau kamu melihatnya dengan jelas. Atau barangkali, bila kamu melihat hakikatnya lebih jelas, izinkan aku tau. Aku sangat senang mendengar apa yang kamu lihat, bagaimana pandanganmu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga kita sama-sama memiliki jiwa sebening cermin yang dapat memantulkan cahaya-Nya.
Salam untukmu, dimanapun kamu, benakmu, dan hatimu berada.
Iya bener, jadi inget pertengkaran kecil dengan adik yang bikin diri setengah kesel. Tapi beberapa waktu kemudian, saat butuh sesuatu ke adik, perasaan keselnya luntur entah kemana wkwk. Akur-berantem, siklus itu sepertinya sudah lumrah. Benar seperti yang Eja sampaikan bahwa perasaan iri dan dendam tak betah bersarang lama dalam diri, mungkin karena itulah siklus semacam akur-berantem bisa muncul wkwk.
BalasHapusSemoga kedepannya lebih banyak dan senantiasa akur, yaa.. semangaat.. terimakasih sudah menyimak
HapusTulisanmu selalu menyadarkan ku..
BalasHapusSenang mendengarnya, terimakasih sudah menyimak, bung
Hapus