Terhubung: Karena Kamu, Jembatan Masa Lalu dan Masa Depan

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi para pemilik akal.”

Baru kemarin rasanya aku kudengar mamah bilang, “Ngapalkeun atuh, Ja!”
Memang, mamah suka tiba-tiba nyuruh belajar kalau sedang pekan ujian. Aku meraih buku PKn tanpa gairah dan membawanya ke tempat tidur. Aku hanya baca sekilas-sekilas judul-judul besar, tanpa basa basi terus membuka halaman berikutnya karena, “rasanya aku paham bagian ini.”

Seingatku, itu membahas soal bentuk negara, konstitusi, dan perjalanan Indonesia setelah kemerdekaan. Aku tak benar-benar membaca, kelakuanku cuma membolak-balikan halaman buku itu biar dilihat mamah. Dari sisa-sisa pelajaran di kelas, aku masih punya rekaman alur ceritanya dikepalaku. Agar lebih cepat aku beralih ke soal latihan di bagian paling belakang buku. Nomor satu sangat mudah. Begitu pula nomor setelahnya. Tapi beberapa saat kemudian aku mengernyit, menatap jengkel salah satu pertanyaan yang tak bisa kujawab.

“Tanggal berapakah …”

Aku membalik halaman mencoba mengabaikan soal tersebut. Dan tak kurang dari 3 pertanyaan lainnya bertanya kapan tepatnya suatu kejadian terjadi. Bagaimana bisa aku hafal semuanya! Dengan kesal aku menutup buku dan bersiap-siap tidur. Aku tau mamah tak pernah mempersoalkan kalau aku memilih tidur dibanding belajar. Masalahnya, aku belum mau tidur!

Sisa malam itu habis kulalui dengan berkhayal yang macam-macam. Jangan tanya aku bagaimana ujianku berikutnya. Aku tak pernah dapat 100 di mata pelajaran itu.

Beberapa tahun setelahnya, aku duduk di bangku kelas 7-A, terbawa suasana saat guruku membuka sesi diskusi Sejarah Kebudayaan Islam. Aku tipe siswa sontoloyo, tidur kalau sudah bosan, minggat kalau ogah di kelas, dan bikin gara-gara kalau sedang ingin cari sensasi. Tapi, kalau sudah tertarik dengan suatu hal, aku tak bisa acuh.


Biasanya, selepas dapat cerita macam-macam dan tugas ini-itu, pasti pemahaman kami diuji. Siang itu, guruku mengajukan pertanyaan untuk kami. “Apa yang kalian dapat setelah belajar dan mengetahui sejarah yang kita pelajari hari ini?”

Duh! Masih segar di kepalaku dinamika dan peralihan kekuasaan di awal sejarah kebudayaan kita. Terlepas dari sudah jelas betapa kerennya orang-orang dulu, aku kagum sekali mengingat bagaimana khalifah pertama terpilih. Aku merasa lega saat mengingat khalifah berikutnya ditunjuk langsung. Aku juga merasa takjub pada solusi soal dewan syuro sebagai semacam dewan perwakilan masyarakat dalam mengambil keputusan tentang kepemimpinan. Tapi, diriku yang masih sangat muda mulai resah mengingat apa yang terjadi kali berikutnya.

Aku tak bisa tenang mengingat fitnah dan pertumpahan darah yang terjadi di akhir periode yang kami bahas. Peperangan yang bagiku konyol di fase peralihan kepemimpinan yang rawan itu, "Ah! Mana bisa aku senang dengan hal-hal yang menodai jejak kemuliaan yang aku agungkan." 


Saat itu aku menyimpulkan, kekacauan itu tak lain dan tak bukan karena hajat egois dan permainan politik dari pihak-pihak tertentu (aku tak bermaksud menyebutnya di sini).

Dengan galau, aku mengedarkan pandangan ke sepenjuru kelas. Belum ada yang angkat tangan! Guruku hendak menunjuk salah seorang dari kami, tetapi aku lebuh dulu mengangkat tangan dan menarik perhatian. Tanpa basa-basi aku menjawab,

“Saya benci politik!”

Hening semuanya. Tapi anehnya aku malah berdebar cemas.

“Baik, terimakasih!” sambungnya.

Setelahnya dia menunjuk temanku yang lain untuk memberikan jawaban. Sementara aku, sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri. Aku kembali memperhatikan ketika guruku melanjutkan dan memberikan tanggapan padaku.

“Mengingat beberapa bagian yang kita kaji hari ini, bisa kita pahami bagaimana Reja bisa bilang benci.” Guruku memulai. “Tapi, tidak adil bila kita menyimpulkan tanpa meninjau hal tersebut secara menyeluruh.”

“Politik,” katanya. “Banyak kita konotasikan dengan hal-hal kotor. Tapi bukan begitu inti dari politik itu sendiri. Singkatnya, politik adalah seni mempengaruhi orang-orang dalam rangka mencapai suatu hal. Bisa jadi itu baik, bisa jadi itu buruk.”

Dan aku tau apa yang salah dari logikaku.

“Soal politik,” lanjutnya. “Jangan salah! Rasul kita adalah aktor politik handal. Kalau kita masih ingat, strateginya dalam mendamaikan Quraisy soal peletakan batu di kabah, strateginya dalam dalam menyatukan musuh tujuh turunan Aus dan Khadraj, strateginya dalam mengirimkan misi-misi damai ke seluruh imperium dan negara adidaya masa itu. Itu adalah permainan handal yang bermartabat. Jika kita adalah orang baik, kita bisa menggunakan politik dalam rangka mewujudkan misi-misi kebaikan kita. Seperti yang dicontohkan Rasul kita.” Dan seperti yang dicontohkan Yusuf as, Daud as, Sulaiman as, dan tokoh-tokoh lain dalam sejarah kita.

Lima tahun setelahnya. Aku duduk dalam lingkaran diskusi. Gemuruh air sungai samar-samar terdengar. Mungkin arus sungai itu sama derasnya semangat pemuda-pemuda di lingkar diskusi itu. Obrolannya asyik! Kami mengulas soal serangkaian kisah dari mulai kata “Iqra!” hingga ceritanya kami bisa duduk disitu, memikirkan pergerakan dan perjuangan. Untuk pertama kalinya, aku merasa jatuh cinta, dan menemukan tujuan mengapa harus ada aku disini.

Kilas-kilas masa lalu yang pernah kualami, hanya gambaran bahwa kita bisa sepenuh hati memahami dan memaknai masa lalu. Asalkan belajar untuk merefleksi dengan baik, kita bisa menggunakannya untuk merangkai masa depan.

Sejarah bukan 'hanya' soal menghafal tahun dan tanggal. Ia ada untuk diingat, dipahami, dan dijadikan sumber hikmah. Jika kali ini kamu masih kesulitan mengingat, menjiwai dan mencintai sejarah, kurasa tak apa. Aku pernah berada di fase ketika aku mendengar kisah-kisah luar biasa dan menganggapnya angin lalu, dan lupa sama sekali beberapa saat kemudian. Tak belajar dari kisah itu. Saat itu, mungkin kita hanya belum menemukan, apa hubungannya itu dengan kita.

Jika kita mendengar sejarah, mari kita coba, menarik garis yang menghubungkannya dengan diri kita saat ini, ditempat ini, di keadaan seperti ini. Rasakan bahwa itu juga tentang kita, tentang diri kita, dan tentang kehidupan kita. Dengan kesadaran, carilah bagaimana peristiwa tersebut bekerja sehingga memberikan pengaruh besar untuk hari ini. Setelahnya, jadilah kita menyatu dengan sejarah, menjadi bagian dari sejarah, karena kita akan ditulis dalam sejarah masa depan.

Kawanku. Sebagai diriku sendiri, aku tak mencintai diriku, kecuali setelah aku ingat apa saja yang telah aku lalui, kesusahan, kebahagiaan, kegundahan, dan keputusan-keputusan yang aku jalani. Sebagai bagian dari keluargaku, aku tak mencintai keluargaku, kecuali setelah aku memahami apa yang mamah bapak-ku perjuangkan, apa saja yang pernah kami alami, apa saja  yang pernah kami dapatkan. Bagaimanapun itu, pada akhirnya aku menemukan ruang untuk mencintainya.

Sebagai warga negara Indonesia, aku tak mencintai tanah air ini, kecuali setelah aku belajar bagaimana jauh di masa lalu kita adalah bangsa kaya dan berbudaya. Dan setelah aku belajar bagaimana kemerdekaan diperjuangkan beratus-ratus tahun di era kolonialisasi. Dan setelah aku belajar bagaimana stabilisasi dan keamanan publik terus dibenahi sepanjang gejolak-gejolak pasca kemerdekaan. Dan setelah aku merasakan, bagaimana hari ini kabar Indonesia-ku.

Sebagai umat Muhammad, aku tak tahu bagaimana untuk mencintainya. Kecuali setelah aku telusuri dari pertempuran Badar hingga Tabuk, dari kepemimpinan Abu bakar hingga Ali, dari Daulah Umayyah hingga Abbasiyah, dari Daulah Ayyubiyah hingga Mughal, dari runtuhnya Andalusia hingga Baghdad, dari kemenangan di Yerusalem hingga Istanbul, dari Semenanjung Arab hingga Jawa, dan dari para wali hingga hari ini.

Sebagai umat manusia, aku tak tahu bagaimana mencintai sesama. Kecuali setelah aku ingat bahwa kita adalah anak cucu adam. Kecuali setelah aku ingat bahwa kita punya sejarah yang sama. Kecuali setelah aku tau bahwa kita tersusun dari berbagai jenis atom yang sama. Kecuali setelah aku tau kita tinggal di tempat yang sama diantara bintang-bintang.

Sebagai bagian dari semesta, aku tak tau bagaimana untuk mencintai semua ini. Kecuali setelah aku tau bahwa aku sama seperti semua hal lain di semesta ini. Semua isi dalam diriku hanyalah gelombang dan kekosongan, yang diikat oleh satu aturan universal. Kehendak Tuhan.

Jadi kawanku, setelah ini kita akan melangkah ke depan. Tanpa kesadaran yang diajarkan masa lalu, kita hanya melangkah menuju kegelapan, dan lubang yang sama yang pernah menjatuhkan pendahulu-pendahulu kita. Saatnya untuk terhubung, merasakan sejarah sebagai diri kita, dan merasakan diri kita sebagai bagian dari sejarah.

Semoga kedamaian selalu menyertaimu.

Komentar

  1. semoga Allah memberikan ketetapan kesehatan hidayah dan rizki yang barokah kepada kita, Aamiin๐Ÿ˜‡๐Ÿ™๐Ÿ‘

    BalasHapus
  2. Keren Ja...๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. Makasii.. hope it help you or bring some ideas for ur next work.. Semangaat

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Journey to the Wonder