Afterlife: Titik Setimbang
“Pada kondisi setimbang, semuanya nol. Damai. Adil.”
Aku belajar kejujuran dan keadilan dengan cara yang tidak mudah. Menjadi orang tak jujur dan jahat benar-benar menyedihkan. Karena setiap keuntungan yang kudapat hanya berlangsung sesaat sebelum ditarik paksa dengan cara-cara yang menyakitkan. Hari ini, masih tersaruk-saruk aku mencoba keluar dari lingkaran neraka ini.
Saat aku mengalaminya secara langsung, sering aku merenung dan memikirkan bagaimana semua itu bisa terjadi. Bagaimana yang jahat akan kena batunya? Mengapa kebaikan berbalas kebaikan?
Jadi, aku coba bertanya dan menunggu jawaban datang melalui ayat-ayat yang menakjubkan. Alam sebagai ayat kebenaran senantiasa bicara jujur. Disinilah aku, mendengarkan suara-suaranya.
Saat aku memukul meja, semesta berbalik memukul telapak tanganku dengan sengatan menyakitkan karena gaya yang kuberikan dikembalikan hampir sama besar. Sebagian kecilnya menjadi panas, dan sebagian lainnya tertinggal dan menggetarkan partikel-partikelnya hingga aku dapat mendengar suara ‘Dug!’ yang tak menyenangkan.
Bahkan saat aku mengamati ponselku tergeletak di meja, nampak diam tak bergeming, antara permukaan meja dan ponselku sedang saling memberi gaya sehingga kedudukannya tetap sama. Tetap bertahan demikian.
Dalam kasus lain, aku sedang meminum susu coklatku. Aku bisa merasakan minumanku ini baru sesaat keluar dari kulkas.Tiba-tiba ide aneh terlintas di benakku.
Aku mengumpulkan susu di mulutku sampai penuh sekedar untuk aku biarkan. Cairan itu tak langsung kutelan sehingga otakku sempat terasa beku dan keningku spontan berkerut. Perlu beberapa saat lagi setelahnya hingga efek itu hilang.
Sampai pada suatu titik, aku hampir tak merasakan dia ada di mulutku jikalau bukan karena rasa manis di lidahku. Saat itu aku tau, temperaturnya dan mulutku sudah setimbang. Meski sebagian orang akan merasa jijik, aku menegaknya, merasa hambur jika harus membuangnya.
Transaksi instan terus berlangsung di sekitar kita mengejar kondisi yang kita sebut kesetimbangan. Setimbang mekanik, termodinamik, dan berbagai kesetimbangan lainnya. Termasuk kebaikan dan keburukan yang kita rasakan, juga kebaikan dan keburukan yang eksis di semesta ini.
Kita bisa lebih tenang mengetahui aku bahwa kita tak akan pernah rugi jika aku untuk memberikan kebaikan pada apapun di sekitar kita. Berbagi materi, momen, dan kebahagian dengan seisi dunia terasa seperti perjalanan menembus waktu. Pada akhirnya, dia hanya akan kembali lagi pada kita tanpa cela.
Kendati demikian, bagiku ada konsekuensi lain dari kesadaran itu. aku makin merasa was-was tiap kali memikirkan apa yang akan aku terima sebagai balasan hal-hal buruk yang sempat kulakukan. Seberapa buruk itu jadinya? Seberapa menyakitkan kah?
Tapi di kesempatan lain, aku mengamati sekitarku dengan kesadaran kosmik bahwa kita semua satu. Sayangnya aku melihat hal yag tidak bisa kusebut menyenankan. Sebagian orang lahir dan menapaki dunia ini, mengambil kesenangan lebih dari semestinya. Mereguk kebahagiaan dari cawan-cawan orang miskin yang kelaparan.
Kebahagiaan milik orang-orang susah ini telah menghilang masuk ke saku jas orang berpunya. Berakhir. Bahkan sampai ajal menjemput keduanya, kesetimbangan itu belum lunas. Mengapa semesta yang kuanggap tangan Tuhan tak bertindak? Mana titik setimbangnya? Mana keadilannya?
Ini tak akan pernah adil.
Ini tak akan pernah cocok dengan sifat murni semesta.
Ini tak akan pernah selaras dengan nada kedamaian.
Kecuali..
Bila memang ini belum berakhir. Bila ada satu sisi lain yang hadir untuk mengembalikan kesetimbangan. Membuat semesta murni seperti seharusnya. Lengkap dan adil.
Barangkali, masalahnya bukan soal kehidupan ini tidak adil. Tapi dia hanya sedang melompat menuju titik setimbang lainnya di babak berikutnya. Hari kemudian. Sebuah titik setimbang.
👍👍👍
BalasHapusKeren, tulisannya dalem banget. Alhamdulillah dapat cara pandang baru :). Terima kasih!
BalasHapus